Sunday 22 May 2016

Kopi, Teh, dan Patah Hati



“Saat orang-orang jatuh cinta, mereka mampu membuat warna hitam menjadi warna merah jambu. Namun, pada saat warna merah jambu tersebut memudar, bahkan kembali menjadi hitam. Mampukah mereka menerimanya, dan membuat warna hitam itu kembali menjadi warna merah jambu ?.”
   
“kopi apa yang sedang lo minum?”

“Kopi Gayo, dari Aceh” jawab gue lalu meneguknya.

“Padahal Gue jarang ngeliat lo minum kopi. Kok, lo bisa menikmati kopi pahit?”

“lo gak ngeliat gue seperti orang yang suka kopi karena gue sudah jarang mengkonsumsi kopi instan , dan gue juga gak minum kopi manis”

“kenapa?”

“kenapa yang mana?”

“kenapa lo gak suka minum kopi yang manis?”

“hmm—entahlah. Mungkin karena rasa pahit dikopi tersebut sudah tidak terasa. Rasa kopi sendiri pahit, bukan? Kalau gue minum kopi manis, gue gak bisa menikmati rasa pahitnya”

“jadi, menurut lo, minum kopi pahit itu seperti hidup. Meskipun ada rasa pahit, tetap harus dijalani dan dinikmati?”

“kalau persepsi lo seperti itu, gue gak bisa jawab apa-apa.” Tutup gue padanya.

“Gue udah menemui dia—“ sahutnya mulai membuka topik lain.

“menemui siapa? Tunangan lo yang—“

“nyelingkuhin gue” sambungnya.

“umm. Ah, iya. tapi, bukannya dia di luar kota. jangan bilang lo datang kesana hanya untuk meminta penjelasan seperti yang lo bilang ke gue waktu itu.”

“iya, gue datang ke tempat tinggalnya yang ada disana. Gue gak memberitahu dia kalau gue akan datang. Gue hanya bertanya apakah hari itu dia ada ditempatnya atau tidak. Dia bilang dia tidak akan kemana-kemana hari itu. Untunglah dia tidak bohong.” 

 “elo, gila.”

“ya, kadang gue ingin melakukan hal gila untuk orang yang gue cintai. Walaupun itu untuk sebuah perpisahan. Gue ingin membuat itu sebagai hal terakhir yang gue lakukan. Gue ingin mendapatkan sebuah perpisahan yang baik.”

“terus, gimana?”

“dia menjelaskan semuanya. Dia menyesali semua perbuatannya. Dia meminta gue untuk memaafkannya. Dia menginginkan hubungan ini terus berlanjut. Dia berjanji akan memutuskan wanita selingkuhannya”

“dan, keputusan lo?”

“gue menolaknya. Gue tidak mau menambah orang yang tersakiti. Gue hanya ingin dia melanjutkan hubungan dengan wanita tersebut bila dia benar-benar menyukainya. gue meminta dia untuk lebih jujur dalam menjalani hubungannya saat ini”

“elo baik banget.”

“ya, tapi dia tidak menerima begitu saja. Dia bersikukuh untuk terus mempertahankan hubungan  kami. Dia bilang, apa yang akan dia katakan pada orang tuanya kalau hubungan yang dianggap orang tuanya serius ternyata harus berakhir saat selangkah lagi menuju kehidupan baru.”

Dia menghela napasnya. Dia kembali melanjutkan ceritanya.

“gue berkata pada dia bahwa, gue akan menjelaskan kepada orang tuanya sejujur-jujurnya. Gue memberitahu dia tidak usah khawatir, yang menjalani  hubungan ini adalah gue dan dia. Lagi pula, gue tidak mau mempertahankan hubungan ini karena dia takut untuk menjelaskan berakhirnya hubungan ini kepada orang tuanya. Dari situ saja sudah jelas, dia tidak serius dengan hubungan kami yang selama ini terlihat serius”

“lalu, apakah lo mendapatkan apa yang lo inginkan? “

“iya, setelah kami berbicara banyak. Dia akhirnya mengerti. Kami setuju untuk memutuskan hubungan ini. Dia mengajak gue untuk makan bersama sebagai tanda suatu perpisahan. Gue memutuskan untuk setuju dengan ajakannya.”

“ya, kalau lo mendapatkan yang lo mau, itu bagus. Tapi, sebaik apapun, itu adalah sebuah perpisahan, pasti itu sakit bukan?”

“iya, lo benar. Ini adalah patah hati terhebat yang gue rasakan.”
Dia tersenyum dengan mata nanar.

 “mungkin gue butuh secangkir kopi” serunya sambil menghela napasnya.

“hmm—itu bukan ide yang bagus”

“kenapa?”

“Untuk seseorang yang sedang patah hati. Kopi terlalu pait untuk dirasakan. Saat ini, lo membutuhkan Teh yang lebih menenangkan” 

Tutup gue padanya.



*Gambar diambil dari google. 

No comments:

Post a Comment