“Permisi, Mau Konsultasi Skripsi,
Pak” seru gue setelah membuka pintu
ruangan.
“eh, kamu... lagi ngapain, sini
masuk” pak Hudan tersenyum dan terlihat
kaget melihat gue.
Pak
Hudan, Seorang dosen yang pernah mengisi kehidupan gue saat kuliah di Akademi
Pimpinan Perusahaan. Sebenernya gue tidak berniat untuk bertemu beliau dalam
waktu dekat. Namun, kebetulan gue sedang berada dikampus karena harus
mengembalikan buku.
Gue
masuk kedalam ruangan. gue salim pada pak hudan. pak hudan masih belum berubah.
Rambutnya yang putih dengan gaya belah pinggir klimis. Matanya yang sipit dan
suaranya yang khas membuat gue tersenyum sendiri.
“apa kabar, pak?” gue masih
bersalaman. Pak hudan belum melepaskan tangan gue.
“kamu lagi ngapain disini, gak
kerja kamu?” pak hudan masih memegang tangan gue.
“saya baru aja berhenti, pak.
Saya kuliah lagi” jawab gue cengengesan.
“kuliah lagi boleh, tapi kenapa
harus berhenti” pak hudan melepaskan tangan gue. Beliau kemudian menjitak gue.
“aduh, iya, pak. Iyaa” gue
memegang kepala gue sambil tertawa.
“yasudah, duduk”
Gue duduk dan membuka topi.
“jadi, bapak apa kabar?” gue
mengulangi pertanyaan gue.
“baik, hanya saja, saya dua tahun
lagi pensiun”
“bapak dua tahun lagi pensiun?.
Wah, Kampus ini bakal gak asik dong. Kalau bapak gak ngajar”
“ya, semua orang perlu istirahat,
bil. Dan waktu istirahat saya sebentar lagi tiba. Lagi pula, saya sudah malas
ngajarin mahasiswa yang malasnya kayak kamu. Dari semester satu saya ngajar
kamu. Sampai sidang juga saya harus nguji kamu” pak hudan tersenyum.
“gitu ya, pak” gue
mengangguk-angguk dengan ekpresi yang agak kesal.
“kamu sendiri gimana?”
“gimana apanya, pak?”
“kamu sudah punya pacar belum?”
“umm... bisa di skip dan cari
topik lain gak, pak?” gue tersenyum.
“ah, kamu masih jomlo aja, cari
pacar, biar hidup kamu semangat. Biar kamu tidak jadi pemalas lagi”
“saya gak mau pacaran, pak. Saya
mau ta’arufan aja” jawab gue sembari mengganti topi gue dengan peci.
pletakk... gue dijitak lagi.
“aduh, pak....”
“kamu pemalas sih, jadi tidak ada
cewek yang mau sama kamu”
“saya pemilih, pak. Bukan
pemalas”
“hmm.. masa? ...”
“ becanda, pak. Iya. Saya emang
pemalas. Oh, iya. Gimana kalau bapak kenalin saya sama mahasiswa baru disini,
pak. Siapa tahu ada yang jadi jodoh saya”
“ah kamu. Waktu itu saya kenalin
sama asisten saya. kamu malah diam saja”
“pak, waktu itu kan saya bilang.
Kalau mau kenalin cewek, bapak entar pura-pura tanya IP saya berapa. Entar saya
jawab, 3,7. Jadi kan aura positif saya keluar, pak” jawab gue sambil tertawa dan
menaik turunkan alis.”
“ya, masa saya bohong. Tidak bisa
gitu, bil. Lagian, asisten saya yang saya kenalin ke kamu dulu itu. IP nya
3,8. Jadi, percuma kalau kamu mau berbohong”
“oh, gitu, ya, pak. Pinter
banget, ya. Pak”
“kalau tidak pintar, tidak akan
jadi asisten dosen, bil”
“oh, iya. Logis sih, pak”
Gue dan pak hudan tertawa.
Pertemuan
gue dan pak hudan membuat gue merasa, bahwa gue sedang pergi ke suatu tempat
yang sudah lama ditinggalkan. Namun, pada saat
kembali ke tempat tersebut. rasanya tetap sama. Bagi gue, pak hudan
adalah suatu tempat tersebut. gue sudah cukup lama tidak bertemu dengan beliau.
Dan pada saat gue kembali bertemu dengan beliau. Rasanya tetap sama. Tidak ada
yang berubah. Dan gue senang akan hal itu.
Percakapan
demi percakapan terjadi. Gue sangat menikmati mengobrol dengan beliau.
Obrolan-obrolan yang biasa. Tapi sangat gue rindukan. Rasanya seperti dirumah. Rasanya
gue memang benar-benar kembali ketempat yang sama meskipun sudah lama gue tinggalkan. tidak ada yang berubah. bahkan tidak ada kata perpisahan yang terucap sampai akhir obrolan. entah kenapa, gue malah ingin segera kembali.
“Rasanya seperti pulang”
Mungkin itulah perasaan saat gue pergi ke tempat yang sudah lama ditinggalkan. namun, rasanya tetap sama.
ketika ayah dan Anak bertemu.
Ampun pak, jangan toyor saya.